Minggu, 24 Mei 2009

Pacaran VS pacaran


A

da seorang yang pernah kuliah mengambil program S3 di Perancis. Saat berkenalan dengan teman-teman sekampusnya ia dibuat tercengang. Bagaimana tidak? Saat ia memperkenalkan diri ia berkata:”saya mahasiswa dari

Indonesia

. Datang ke perancis bersama keluarga saya. Saya menikah

lima

tahun yang lalu anak saya satu orang.” Maka ketika giliran kawan perancisnya memperkenalkan diri ia berkata:”saya asli orang Perancis. Saya tinggal bersama keluarga saya. Anak saya dua orang. Yang pertama berusia tujuh tahun dan yang kedua masih berusia dua tahun. Saya menikahi istri saya, yaitu ibu mereka, enam bulan yang lalu.” Astghfirullahal-`adziem….

Ternyata, keadaan sejenis menjadi hal biasa ketika kawan-kawan kuliah yang lainnya yang berasal dari Eropa mempekenalkan diri. Maka, menjadi jelaslah bagi kawan

Indonesia

ini bahwa rupanya nilai-nilai suci hubungan pria dan wanita bukan muhrim di masyarakat non-Islam barat telah kehilangan eksistensinya. Lembaga pernikahan bagi mereka bukan merupakan sarana penentu garis demarkasi antara halal-haramnya jima` di antara mereka. Sudah atau belum menikah tidak lagi menjadi syarat sah-tidaknya pergaulan bebas dengan lawan jenis non-muhrimnya. Yang penting, asal suka-sama-suka atau saling cinta, maka hubungan boleh berkembang hingga ke tahap apapun. Sehingga tidak mengherankan jika banyak yang menikah sudah punya anak dari hasil hubungan mereka sebelum menikah.

Penulis sering ditanya:’apakah dalam Islam ada pacaran?” maka kami katakan “tergantung, mau pacaran halal atau haram?” kalau mau pacaran yang halaL berarti kata pacaran menjadi singkatan dari pa plus cara plus n , yaitu pakai cara nikah. Artinya, dua insan yang sepakat menikah baru akan merasakan dan mengekspresikan cinta dan kasih sayangnya satu sama lain setelah mereka resmi dan halal menikah.

Sedangkan pacaran yang haram adalah singkatan dari pa plus cara plus n juga, namun menjadi kepanjangan dari pakai cara non-iman. Artinya dua insan yang saling jatuh cinta hingga mabuk kepayang lalu mereka mengekspresikan cintanya satu sama lain tanpa batas. Sehingga kalaupun terjadi hubungan seks sampai lahirnya keturunan di antara mereka, hal itu menjadi perkara biasa dan normal bahkan dipandang sebagai bukti ketulusan cinta. Adapun soal menikah atau tidak, itu tergantung kebutuhan dan manfaat. Jika ia diperkirakan akan mendatangkan manfaat, maka menikahlah. Tapi jika dipandang hanya akan merepotkan, maka menikah menjadi “out of the question”. Yang penting mereka toh tetap saling cinta. Kalaupun akhirnya cinta meredup sehingga mereka berpisah, maka penting ada pembagian beban secara legal,rasional, dan proporsional.

Allah swt berfrman ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” Ayat ini secara jelas mengarahkan orang beriman agar menjalin hubungan dengan lawan jenis non-muhrimnya melalui penghormatan akan lembaga pernikahan. Kecenderungan yang menimbulkan ketentraman (sakinah), rasa kasih (mawaddah), dan sayang (rahmah) antara suami dengan istrinya baru benar-benar tumbuh bilamana nikah telah dilangsungkan. Islam memandang bahwa cinta dan kasih antara suami dan istri dalam ikatan pernikahanlah yang bakal terjamin kelanggengannya sekaligus mendatangkan keberkahan Ilahi. Cinta yang muncul dan tumbuh setelah nikah adalah cinta yang bertanggung jawab dan siap menghadapi berbagai tantangan hidup yang nyata.

Sementara dalam masyarakat yang jauh dari iman cinta dipandang sebagai kesenangan yang identik dengan pelampiasan hawa nafsu belaka. Suka sama suka antara laki dan perempuan tidak berkaitan dengan ridho ilahi. Syaithan selaku musuh manusia sengaja mendorong atmosfir perilaku maksiat dan perzinaan.

Allah menggambarkan mereka sebagai ‘…orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan makan seperti makannya binatang-binatang.” Dalam dunia hewan segala gerak hidup dilandasi oleh insting hewani semata. Hewan tak pernah dikenal mengadakan upacara pernikahan bila hendak kawin. Yang penting jika suka sama suka dan “mood” (suasana) sedang hadir, maka mereka langsung kawin. Demikian pula masyarakat manusia yang jauh dari iman. Kalaupun mereka menikah maka itu dilakukan demi memperoleh secarik kertas formal yang mungkin mendatangkan kemudahan-kemudahan sosial. Namun jika signifikasi perbedaan tidak ada tentu lebih menyenangkan hidup bersama tanpa harus menikah. Kalau ada pilihan yang lebih mudah kenapa harus mencari yang sulit? Na`udzubillahi min dzalika…

Tidak ada komentar: